Pages

Sunday, January 31, 2016

Menjadi Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (Part II)


Part II: Perkuliahan yang memutar dunia
========================================

Masih membicarakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa seni di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Jika kemarin masih garis besar, kali ini sudah mencapai garis besar kegiatan kelas.


Edi Sunaryo, saat pameran tugas
Kelas kami menyenangkan, penuh dengan dosen yang matang di bidangnya. Saya ambil contoh dosen kelas “Penciptaan Seni Lukis I” yang merupakan seniman sahabat Oe Hong Djien, kolektor Indonesia, Bapak Edi Sunaryo. Saya ingin berteriak, “HOW COME” saat beliau mengkritik karya saya dengan detail, bahkan mengetahui bagian mana yang saya mengerjakan dengan terpaksa, dan mana yang saya sangat enjoy. Dengan tunjukan khasnya, beliau mendeskripsikan, kamu bagus di bagian ini, kamu suka ya bikin bagian ini, kamu terpaksa di bagian ini, tanganmu kaku di sisi yang ini. Seakan bisa membaca sejarah, beliau berhasil membuat saya terdiam dan menunduk hormat. Beliau yang membuat saya sadar dimana kekuatan utama artistik saya, dan membantu saya meledakkan potensi terdalam.   Beliau mengajak kami keluar dari zona nyaman, mengenalkan pasar, juga sempat berjalan-jalan ke museum dan rumah Oe Hong Djien secara gratis. Sebuah kesempatan langka dan lucky seven, kalau saya bilang. Sayangnya, sekitar dua atau tiga tahun lagi beliau akan pensiun. Well, setidaknya terima kasih Tuhan, sempat memberikan beliau pada saya. Beliau memberikan apa yang penting adalah kita harus paham batas diri. Apa yang menonjol dan apa yang kurang. Jangan fokus dan terus-terusan mengeluh pada apa yang kurang dan tidak bisa kita capai, namun kembangkan apa yang menjadi kekuatanmu. Saat pikiran dan hati kita sudah melaksanakannya, ada kekuatan yang tidak terduga terlahir dari kita. Itulah yang terjadi dengan saya. Meski sedikit stress dan tertekan, namun perubahan aliran lukisan ini benar-benar membuat teman-teman mengapresiasi saya lebih baik dan sangat setuju dengan keputusan saya, yang terdorong oleh saran bapak Edi.

[SAMA DENGAN ALMARHUMAH NYI SUPADMININGTYAS, GURU SINDEN SAYA DARI SOLO, YANG SELALU BERPESAN, JANGAN TUTUPI KELEBIHANMU, TAPI TUNJUKKAN PADA DUNIA. DENGAN BEGITU APA YANG TIDAK MEMILIKI KEKUATAN AKAN MENJADI PELENGKAP KELEBIHANMU DAN KESATUANNYA MENJADIKANMU KEINDAHAN SEJATI]   

Dosen amazing yang kedua adalah Professor Martinus Dwi Marianto. Kritikus, kurator, pengajar, dan mantan direktur Pascasarjana ISI. Sempat juga maju menjadi calon rektor, namun untungnya tidak jadi. Kalau jadi, mungkin kami tidak akan diajar dengan intens dan mendapatkan ilmu yang memutar mindset. Beliau pencetus teori quantum pada seni. Jika selama ini teori quantum hanya ada pada fisika, beliau mengaitkannya dengan seni, dan itu benar-benar fuckin’ amazing. Sorry for my bad languange. Tidak hanya mengenalkan kami pada buku-buku yang luar biasa dan pemahaman baru akan dunia, beliau juga mengajak kami berjalan-jalan keluar. Masuk ke rumah seniman besar Indonesia seperti Heri Dono, Djoko Pekik, bahkan mengadakan kelas ditengah-tengah ruang pameran. Bapak satu ini menuntut kami untuk aktif dan membuka mata tentang kesenian kontemporer yang merebak, dengan mata kepala kami sendiri. Mengobservasi dan menyimpulkan, kami menjadi lebih paham dan mendalaminya. Saya yang semula berpikir terkotak-kotak karena bawaan orang pendidikan, akhirnya berjungkir balik. Shock, namun gembira. Saya menjadi gila di Jogja.
kuliah di rumah seniman Heri Dono, bersama prof Dwi


[JIKA INGIN TAHU KAMI BELAJAR APA SATU SEMESTER DI PERKULIAHAN PROF. DWI MARIANTO, BACA BUKU ART & LEVITATION: SENI DALAM CAKRAWALA, KARANGAN BELIAU SENDIRI ]



Sutanto Mendut beraksi di kelas


Apa lagi yang membuat saya membuka pikiran dan menjungkirkannya dengan liar? Dosen yang juga komposer, budayawan, seniman, yakni bapak Sutanto Mendut. Mengambil mata kuliah pilihan Seni dan Lingkungan, saya berharap mendapatkan pengetahuan mendalam tentang kebijakan sosio-cultural di era post-modern atau apalah untuk membantu rencana thesis saya yang mengangkat isu sosial. Namun ekspetasi saya hancur begitu saja di pertemuan pertama. Dosen apa ini. Mata kuliah apa ini. Gila. Saya gila lagi di Jogja. Bertingkah sembarangan, selalu muncul guyonan kotor, hobi berfoto di kelas, bahkan mengkritik otoritas yang berjalan. Namun beliau berwawasan luas, melihat dunia dari kacamata terbalik yang nakal. Selama ini saya juga melakukannya, namun saya tahan sendiri karena saya tahu itu tabu dan lingkungan tidak akan menerima. Ternyata sosok ini membuat saya chaos. Dan tanpa saya sadari, dari chaos itu sendiri ada keindahan. Mindset saya kembali berputar. Lupakan formalitas, ayo manfaatkan kreativitas. Jangan lupa lihat lingkungan sekitarmu; ada banyak hal yang bisa kamu manfaatkan. Tidak usah sok suci dan sok tertata, hiduplah apa adanya. Kita dan alam itu satu, harus saling menjaga.

Tugasnya apa saja? Oh jangan ditanya. Banyak. Baca buku, itu pasti. Sebagai seorang magister, diharapkan mulai belajar melahirkan ilmu-ilmu dari pemikirannya sendiri. Para ahli terdahulu hanya mendorong, bukan menjadi acuan diktator. Saya menjadi lebih percaya diri mengungkapkan pendapat secara pribadi, karena bagaimanapun, ini adalah perguruan tinggi seni. Hampir semua yang disini menggunakan rasa untuk menyelesaikannya. Bagaimana seorang Edi Sunaryo dapat memahami goresan penuh keresahan dan goresan bahagia hanya dari melihatnya saja? Tentu hati lah jawabnya. Hati dan perasaan memiliki gelombang yang lebih kuat dari pikiran.

Mengerjakan UAS bersama
Tugas kami seputar mengobservasi pameran, mengkritik karya seni, menelaah literatur, mencoba memahami seni dari sisi dalam, berlatih membuat konsep yang matang untuk sebuah karya, dan tentu saja, membuat karya itu sendiri, dalam hal ini lukisan. Dalam satu semester kami harus membuat 5 karya lukisan. Ringan? Masih, menurut saya pribadi. Coba dipikir apabila ukuran karya beberapa meter. Kami harus bisa menyeimbangkan antara pekerjaan praktikum dan teori. Dua hal yang saling bertolak belakang. Sesungguhnya seorang magister penciptaan seni adalah orang yang hebat. Nalarnya terasah, estetiknya berjalan. Sulit menemukan manusia yang dua sisi bertolak belakang tersebut seimbang. Disini kalian bisa mendapatkannya. Orang seni selalu unik.

Apa yang mengerikan dari kuliah di magister seni? Yang pertama tentu manajemen pikiran dan hati. Karya yang bagus tidak akan lahir dari pikiran yang penuh atau mood yang buruk, seorang Edi Sunaryo bahkan bisa melihatnya (saya pernah kena tegur padahal beliau hanya melihat karya saya sekilas tanpa tanya bagaimana saya saat mengerjakannya)!! Inilah yang membuat banyak orang kwalahan. Siapa lagi kalau bukan pribadi yang matang yang bisa mencapai titik ini?

Yang kedua, dana. Selain SPP yang tidak biasa, 4-5 kali lipat dari biaya S1 (bahkan bisa mencapai 8-10x lipat di perguruan tinggi lain), tugas harian-mingguan dan ‘aksesoris’nya butuh pembakaran uang yang lumayan juga. Kanvas, cat, kuas, kertas khusus (karena seni disini bukan sekedar corat-coret, tapi masalah serius), pelapis, dan juga buku. Di awal masuk, untuk menghemat, saya mencoba menggunakan cat murah (lol) dan berakhir dikritik habis-habisan oleh dosen dan rekan. Akhirnya saya melompat masuk ke dunia hedonisme seni, dimana cat kualitas premium dengan harga yang mengalahkan gala dinner di restoran mewah akhirnya saya koleksi.  Tidak masalah jika untuk pendidikan, begitu ayah saya berkata saat saya minta izin mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sekedar cat.
Persiapan event yang kami koordinir
Sejak disini, beberapa dosen selalu memberikan kami materi dan tugas yang hanya ada jawabannya di buku. Mereka menyarankan buku A, B, C, dan otomatis terbakar sudah dompet. Belum cukup, ada pameran, ada juga pementasan karya tugas. Pameran itu termasuk membayar snack maupun konsumsi lain untuk para tamu, membayar kebersihan, perlengkapan, dan segala keperluan dadakan lain yang wow. Eksistensi kita dipertanyakan jika tidak pernah mengadakan pameran atau terlibat. Selain itu, pameran memberikan banyak ilmu non-formal yang menggugah rasa artistik kita akan seni dan sosial. Wow dan wow, saya akhirnya memilih makan mi instan dan nasi kecap secara berkala agar keuangan cukup dan tidak merepotkan orang tua dengan meminta lagi.          

 Saya mendapatkan banyak hal dari perkuliahan dan lingkungan teman saya. Idealisme dan prinsip saya yang tertata tinggi runtuh sedikit demi sedikit. Kampus seni benar-benar kampus brengsek, tempat berkumpulnya orang yang melihat dunia secara luas dan berbeda. Saya bahagia bisa masuk disini. Saya bahagia idealisme saya yang kaku dan kolot tergerus sedikit sedikit, membuat beban di hati berkurang. Tapi tetap saja, apa yang sudah saya pondasikan tidak akan pernah hilang. Itulah bagusnya sudah memiliki prinsip dan pondasi matang saat kita dilempar ke dunia lain; tidak akan terbawa arus dan tidak akan hilang jati diri. Saya bahagia Tuhan memberikan saya lingkungan ini di saat saya sudah punya pondasi. Saya tidak bisa membayangkan saat saya lulus SMA saya segera terjun kemari; mungkin sudah ikut tergeletak di halaman, menjadikan Tuhan permainan, mengkritik jahat semua keteraturan dan melemparkan atribut norma kebelakang.

Ilmu dan kemapanan yang kita dapatkan di S2 tidak bisa dibagi begitu saja. Tidak semua ilmu bisa didapat dari mengemis orang lain. Disini saya menekankan itu, karena apa yang saya dapatkan dan alami berbeda dengan rekan saya yang lainnya. Karena di perkuliahan seni murni program pasca sarjana, terutama penciptaan, perkuliahan adalah pengembangan dari apa yang sudah dimiliki per person; dosen ada untuk mengembangkan atau membuka potensi yang unik dari masing-masing. Pencapaian yang dimiliki per individu akhirnya juga tidak sama, sehingga tidak bisa disama ratakan. Pemahaman yang dimunculkan adalah hasil dari olahan pribadi, bukan cekokan ilmu pasti. Tidak seperti matematika yang rumusnya jelas dan hasilnya pasti sama, apa yang kami dapatkan di magister penciptaan seni ini akan terasa sulit jika dicoba ditularkan secara identik. Meski rumusnya jelas, namun hasilnya akan berbeda karena rasa estetik dan pencapaian filsafat orang berbeda. Yang jelas, tetaplah mengembangkan diri dan terus berlatih. Karena hanya kita yang paham akan kemauan, kemampuan, dan batas diri kita sendiri.      

                     


No comments:

Post a Comment